Featured Post 6

Senin, 21 Juni 2010

Apa sih bedanya Fiksi (F) dan Non Fiksi (NF)??

Pada sebuah kegiatan di Sekolah-Menulis Online BelajarMenulis.com beberapa hari lalu, ada dua siswa yang menanyakan hal yang sama:

“Awalnya saya menulis nonfiksi, yakni sebuah artikel tentang A. Tapi lama-kelamaan, tulisannya kok menjadi fiksi, ya? Bagaimana cara mengatasinya?”

Pertanyaan ini membuat saya agak bingung, karena itu saya meminta si siswa untuk memberikan penjelasan lebih detil.

Mereka pun menjelaskan.

“Begini. Saya kan menulis sebuah artikel tentang A. Di situ saya menjelaskan analisis dan diskripsi tentang A itu. Tapi tanpa saya sadari, tulisan itu akhirnya berubah menjadi penulisan opini saya mengenai A.”

“Oke, lalu di mana letak fiksinya?” tanya saya.

“Ya pada opininya itu.”

“Lho, Anda menganggap opini itu sebagai fiksi?”

“Memang begitu, kan?”

* * *

Terus terang, kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Sekitar setahun lalu, saya pun pernah ditanyai oleh seorang teman, “Apa sih, perbedaan antara fiksi dengan nonfiksi?”

Bahkan, seorang teman pernah berkata, “Saya sudah terbiasa menulis dengan gaya bahasa yang ringan, pakai sapaan AKU, pokoknya jauh dari resmi. Karena itulah saya tidak berani menulis nonfiksi. Soalnya nonfiksi itu kan tulisan yang serius dan resmi.”

Sejujurnya, selama ini saya menganggap bahwa SEMUA penulis PASTI sudah tahu apa perbedaan antara fiksi dengan nonfiksi. Tapi pengalaman-pengalaman di atas, terus terang membuat saya terperangah sekaligus sadar, bahwa anggapan saya ternyata keliru.

Dari hasil obrolan dengan teman yang belum bisa membedakan antara fiksi dengan nonfiksi tersebut, saya mendapat kesimpulan bahwa dia mengira pembedaan antara fiksi dengan nonfiksi adalah dalam hal GAYA BAHASA. Bila suatu tulisan menggunakan bahasa yang “mendayu-dayu”, indah, nyastra, berbunga-bunga, maka itu adalah tulisan fiksi.

* * *

Mungkin, banyak di antara Anda – para penulis senior – yang geleng-geleng kepala dan merasa heran atas cerita saya di atas. Itu bukan karangan saya semata, tapi itu adalah fakta yang saya temukan di lapangan.

Karena itulah, kali ini saya mencoba memberikan semacam “pelurusan makna” atas isu yang – barangkali – “cukup krusial” ini. Bila tidak diluruskan, saya khawatir jika di masa depan, makin banyak orang yang salah kaprah mengenai perbedaan antara fiksi dengan nonfiksi.

Baiklah!

Perbedaan antara fiksi dengan nonfiksi sebenarnya SANGAT SEDERHANA. Kita akan mulai dari hal yang paling mudah dipahami.

Selama ini, Anda tentu sudah sering mendengar istilah ‘perusahaan fiktif’. Saya yakin Anda tahu apa maksud dari istilah ini. Ya, perusahaan fiktif adalah perusahaan bohongan, tidak benar-benar ada.

Nah, TULISAN FIKSI memiliki pengertian yang lebih kurang sama. Fiksi adalah jenis tulisan yang hanya berdasarkan imajinasi. Dia hanya rekaan si penulisnya.

Jadi, Anda pasti sudah setuju sekarang, bahwa jenis-jenis karya seni berikut ini merupakan karya fiksi:
Cerita pendek (cerpen), novel, sinetron, telenovela, drama, film drama, film komedi, film horor, film laga.

* * *

Jika Anda telah paham apa itu FIKSI, maka memahami NONFIKSI akan jauh lebih mudah. Coba amati kata NON yang terdapat di depan kata FIKSI. Arti dari “non” adalah “tidak” atau “selain”.

Jadi, TULISAN NONFIKSI adalah tulisan-tulisan yang isinya BUKAN FIKTIF, bukan hasil imajinasi/rekaan si penulisnya.

Dengan kata lain, NONFIKSI adalah karya seni yang bersifat faktual. Hal-hal yang terkandung di dalamnya adalah nyata, benar-benar ada dalam kehidupan kita.

Jadi, Anda pasti sudah setuju sekarang, bahwa jenis-jenis karya seni berikut ini merupakan karya nonfiksi:
Artikel, opini, resensi buku, karangan ilmiah, skripsi, tesis, tulisan-tulisan yang berisi pengalaman pribadi si penulisnya (seperti diary, chicken soup for the soul, laporan perjalanan wisata), berita di koran/majalah/tabloid, film dokumenter, dan masih banyak lagi.

* * *

Kesimpulan:

Perbedaan antara fiksi dengan nonfiksi sebenarnya hanya terletak pada masalah faktual atau tidak, imajiner atau tidak.

Jadi, perbedaan antara keduanya sama sekali tidak ada hubungannya dengan gaya bahasa atau apapun selain masalah fakta atau imajiner.

Dengan demikian, bisa saja tulisan nonfiksi menggunakan gaya bahasa yang “nyastra”, mendayu-dayu, berbunga-bunga, sebagaimana halnya yang sering kita temukan pada naskah-naskah cerita pendek (cerpen) atau novel. Tulisan nonfiksi bisa saja menggunakan bahasa yang sangat serius, atau sangat santai dan selengekan, seperti buku Kambing Jantan karya Raditya Dika.

Dan – SECARA TEORI – bisa saja cerpen atau novel menggunakan bahasa yang serius dan formal seperti skripsi atau karangan ilmiah. Ya, itu bisa saja. Kenapa tidak? Jangan katakan itu tidak mungkin, sebab siapa tahu suatu saat nanti ada penulis yang berhasil menulis novel dengan menggunakan bahas ilmiah, tapi tetap asyik untuk dibaca.

Di dunia jurnalistik, kita juga mengenal istilah “jurnalisme sastra”, yakni penulisan berita (NONFIKSI) yang menggunakan gaya bahasa sastra, sehingga berita-berita yang kita temukan di majalah tertentu akan terasa seperti novel. Padahal yang ditulis di sana adalah KISAH NYATA atau FAKTA, atawa NONFIKSI.

* * *

Sebagai penutup, saya merasa perlu memaparkan dua hal berikut:

SATU:
Memang, karena alasan tertentu, ada juga penulis yang memasukkan unsur-unsur fiksi ke dalam tulisan nonfiksi. Misalnya: Seorang wartawan menulis sebuah berita, lalu di dalamnya ada wawancara imajiner dengan seorang tokoh yang juga imajiner.

Mungkin Anda mengira bahwa tulisan jenis ini adalah 50 persen nonfiksi dan 50 persen fiksi. Ada juga yang berpendapat ini sudah 100 persen fiksi. Sementara orang lainnya mengatakan tulisan seperti ini masih murni nonfiksi.

Kita bisa saja berdebat panjang mengenai hal-hal seperti itu. Tapi menurut saya, itu bukanlah hal yang terlalu prinsip untuk dibahas. Selama tulisan tersebut bermanfaat bagi pembaca dan tidak merugikan siapapun, saya kira berdebat tentang jenis tulisan hanya akan membuang-buang waktu.

DUA:
“Bagaimana bila IDE DASAR dari tulisan fiksi adalah FAKTA? Contohnya, banyak juga film atau novel yang diangkat dari kisah nyata.”

Untuk menjawab pertanyaan ini, coba Anda baca tulisan saya yang berjudul “Menulis Cerpen Berdasarkan Kisah Nyata”.

Semoga bermanfaat, dan semoga tak ada lagi salah kaprah mengenai pengertian fiksi dan nonfiksi.by maktabahaitulhikmah.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites